StockReview.id – Masa pandemi telah berlangsung selama lebih dari dua tahun dan mulai memasuki masa recovery. Namun di tengah perbaikan kondisi, kembali muncul tantangan baru yang hadir dari level global, yakin ancaman resesi global dan inflasi. Tentunya kondisi ini dapat memberikan dampak bagi Indonesia, termasuk bagi industri asuransi dan media.
Untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dampak yang bisa terjadi dan bagaimana persiapan yang harus dilakukan, Allianz Indonesia kembali mengelar media discussion dengan mengangkat tema “Economic Outlook 2023 and Inflation-Recession Pressure: What does it mean for Insurance and Media Industry.” Melalui tema ini, Allianz ingin memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai potensi risiko di 2023 dan bagaimana cara mengantisipasinya.
Potensi Risiko Volatilitas Ekonomi Global Mengawali pemaparan, “Prospek Ekonomi 2023 Global dan Nasional” yang disampaikan oleh Poltak Hotradero sebagai Business Development Advisor Indonesia Stock Exchange, menyebutkan bahwa efek riak dari invasi Rusia ke Ukraina, pengetatan moneter AS, dan perlambatan ekonomi di China akan membebani ekonomi tahun depan, dengan potensi pertumbuhan global melambat menjadi hanya 2,7%, menunjukkan tren perlambatan dari 2021 yang sebesar 6% dan di 2022 sebesar 3,2%. Hal ini dapat menghasilkan beberapa risiko yang membentuk volatilitas ekonomi global.
“Potensi risiko yang kemungkinan besar terjadi dan memiliki dampak yang sangat tinggi, berupa cuaca, dimana musim dingin memperburuk krisis energi Eropa. Musim dingin 2022/23 di Eropa akan berlangsung berat dan akan sangat tergantung pada ketersediaan gas dan batu bara. Pada keadaan ini inflasi di Eropa masih akan bertahan tinggi didorong harga energi serta akan menekan konsumsi serta ekonomi,” ujar
Poltak.
Poltak menambahkan bahwa cuaca ekstrem dapat juga menambah lonjakan harga komoditas dan memicu kerawanan pangan global. Kekeringan parah dan gelombang panas di Eropa, Cina, India, dan AS pada tahun 2022 berkontribusi terhadap kenaikan harga beberapa bahan makanan.
Selain itu, invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina berdampak pada terhambatnya pasokan gas alam dan selanjutnya penurunan produksi pupuk dunia. Tanpa pemulihan pasokan gas alam dan pupuk, siklus tanam berbagai komoditas di tahun 2023 dapat terdampak terutama pada negara-negara miskin di Afrika dan Timur Tengah.
Di negara-negara maju, perlambatan ekonomi dapat semakin dalam, mengakibatkan jatuhnya pasar aset yang akan membebani pertumbuhan global. Di pasar negara berkembang, kenaikan suku bunga dapat mendorong depresiasi mata uang yang ekstrem dan meningkatkan risiko
gagal bayar utang negara (seperti yang terjadi di Sri Lanka pada bulan April).
Poltak menyimpulkan, “Secara umum, negara-negara di dunia mengalami lonjakan inflasi. Lonjakan inflasi dipicu oleh meningkatnya aktivitas ekonomi dan meningkatnya volume uang hasil stimulus ekonomi Pandemi berbagai negara. Untuk menekan lonjakan inflasi, berbagai Bank Sentral di seluruh dunia menaikkan suku bunga, untuk menyerap likuiditas pasar uang yang berlebih dan mengendalikan ekspektasi inflasi. Kenaikan suku bunga biasanya akan memicu perlambatan aktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini akan berlangsung hingga
tingkat inflasi berada di bawah target Bank Sentral. Indikator utama: Inflasi Inti (Core Inflation).