StockReview.id – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI baru-baru ini memberikan kritik tajam terhadap Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur kemasan rokok polos tanpa merek. Kebijakan ini, yang merupakan inisiatif dari Kementerian Kesehatan di bawah kepemimpinan Menteri Budi Gunadi Sadikin, dianggap menciptakan kontroversi dan perdebatan yang signifikan di kalangan pemangku kepentingan. Banyak pihak yang menilai bahwa peraturan ini tidak hanya diskriminatif, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang serta konstitusi yang ada.

Kritik tersebut semakin mengemuka seiring dengan ditemukannya pasal-pasal tersembunyi dalam peraturan yang dianggap mendiskriminasi berbagai kelompok masyarakat, termasuk pedagang ritel dan petani tembakau. Firman Soebagyo, anggota Baleg, mengungkapkan bahwa peraturan ini akan merugikan masyarakat kecil, termasuk para pedagang asongan dan industri hasil tembakau yang telah berkontribusi besar terhadap pendapatan negara melalui pajak. Dampak dari kebijakan ini diharapkan tidak mengorbankan mereka yang bergantung pada industri tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa Firman menegaskan perlunya melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses pembuatan peraturan ini. Ia menyatakan bahwa adanya ketidakadilan dalam pembuatan peraturan tersebut perlu diatasi agar tidak mengabaikan hak-hak masyarakat. Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan dapat berperan penting dalam meninjau dan mengevaluasi apakah peraturan baru ini memiliki unsur subjektivitas yang merugikan rakyat.

Dari sisi legislatif, DPR RI berkomitmen untuk memantau keluhan yang datang dari pemangku kepentingan terkait kebijakan ini. Jika ditemukan adanya ketidakadilan, DPR siap mengambil langkah-langkah termasuk pengajuan judicial review terhadap peraturan tersebut. Hal ini menunjukkan keseriusan DPR dalam mempertimbangkan kepentingan publik dan mencegah munculnya regulasi yang merugikan masyarakat.

Lebih jauh, Firman juga menyatakan bahwa RPMK bertentangan dengan RUU Komoditas Strategis Nasional (KSN). Dia menekankan bahwa RPMK tidak seharusnya mengintervensi atau mengubah ketentuan yang telah ada dalam undang-undang utama. DPR berencana untuk meninjau setiap pasal dalam RPMK dan memastikan kesesuaiannya dengan undang-undang lainnya. Jika ditemukan kontradiksi yang signifikan, DPR akan mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung.

Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, juga menyoroti kurangnya partisipasi dari industri dalam penyusunan RPMK. Dia menyatakan bahwa undangan untuk public hearing tidak mencakup semua asosiasi dan kementerian terkait. Proses yang terburu-buru ini dinilai tidak memberikan ruang bagi masukan yang konstruktif dari pelaku usaha, sehingga dapat merugikan industri lokal.

Kekhawatiran akan meningkatnya peredaran rokok ilegal juga menjadi sorotan. Benny menegaskan bahwa implementasi kebijakan kemasan polos dapat membuka pintu bagi peredaran rokok ilegal yang lebih luas. Kasus terbaru menunjukkan bahwa meskipun ada upaya penegakan hukum, pelanggar hukum dapat dengan mudah lolos dari sanksi. Penegakan hukum yang lemah ini juga disoroti oleh Ketua Asosiasi Penguasa Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, yang menilai bahwa ketidakadilan ini akan semakin menyulitkan industri yang mematuhi hukum untuk bertahan (rht)