StockReview.id – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada Januari 2025 diprediksi berdampak besar pada petani, nelayan, dan peternak. Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono, mengungkapkan bahwa kebijakan ini bisa memicu kemiskinan baru bagi rakyat kecil. Riyono menyarankan pemerintah memberikan insentif agar petani dan nelayan dapat bertahan dari dampak kenaikan PPN yang direncanakan.
Riyono menjelaskan bahwa kenaikan PPN, yang berlaku sejak 2022, akan semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Dengan PPN baru, harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok, akan meningkat. Hal ini membuat petani, nelayan, dan peternak menghadapi tantangan berat, terutama mereka yang berada di daerah pesisir dan pedesaan. Riyono menyebut kebijakan ini tidak adil dan bisa memperburuk kondisi ekonomi mereka yang belum pulih sepenuhnya dari pandemi.
Sebelumnya, Presiden Jokowi juga mengesahkan PP 85 Tahun 2021 yang menyasar nelayan kecil dengan tarif PNBP 5 persen untuk kapal berkapasitas 5 GT. Artinya, nelayan akan dikenakan PPN 11 persen saat berbelanja dan 5 persen atas hasil tangkapan mereka, yang totalnya mencapai 16 persen. Dengan beban pajak ini, nelayan semakin kesulitan untuk berkembang dan pulih dari dampak pandemi.
Kenaikan PPN juga memberi dampak negatif bagi peternak, di mana harga pakan ternak kemungkinan naik 5 persen akibat pajak tambahan. Riyono menilai kebijakan ini bertentangan dengan prinsip ekonomi Pancasila yang mengutamakan keadilan sosial. Ia menegaskan bahwa pemerintah harus memberikan insentif bagi sektor pertanian, kelautan, dan peternakan agar bisa bangkit dari kondisi sulit. Dengan adanya kebijakan pajak baru ini, daya beli masyarakat, khususnya di sektor pertanian, akan semakin menurun.
Data BPS
Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa persentase nelayan miskin mencapai 20-40 persen pada 2018. Angka kemiskinan di pedesaan juga terus meningkat sejak 2019 hingga 2020. Meningkatnya jumlah penduduk miskin ini menggambarkan betapa beratnya beban yang harus ditanggung oleh petani dan nelayan. Riyono menilai kenaikan PPN ini akan membuat mereka semakin terpuruk dan sulit untuk keluar dari kemiskinan.
Riyono menambahkan bahwa kebijakan ini tidak hanya membebani petani dan nelayan, tetapi juga meningkatkan angka kemiskinan secara nasional. Data BPS menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di pedesaan pada 2020 mencapai 13,20 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan yang hanya 7,88 persen. Oleh karena itu, Riyono meminta pemerintah untuk merevisi kebijakan ini agar tidak semakin menyusahkan rakyat kecil.
Sementara itu, Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN 12 persen akan mendorong kenaikan harga barang, khususnya makanan dan minuman. Kenaikan harga ini akan memberatkan masyarakat, terutama kelas menengah yang sudah mengalami penurunan daya beli dalam beberapa tahun terakhir. Ia memperkirakan, perusahaan akan membebankan kenaikan biaya pajak ini kepada konsumen, yang mengarah pada penurunan konsumsi masyarakat.
Dengan penurunan daya beli, masyarakat cenderung mengurangi konsumsi barang dan jasa, yang berpotensi menyebabkan penurunan permintaan pasar. Penurunan ini dapat berdampak pada produksi perusahaan dan bahkan berujung pada pengurangan tenaga kerja atau PHK. Ekonom seperti Mohammad Faisal dari CORE mengungkapkan bahwa kondisi ini akan semakin memperburuk situasi ekonomi kelas menengah yang saat ini sudah cukup tertekan.
Pemerintah harus segera merumuskan kebijakan insentif yang tepat untuk sektor pertanian, kelautan, dan peternakan. Tanpa insentif yang memadai, kebijakan kenaikan PPN berpotensi mengancam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil sangat penting agar mereka bisa terus bertahan dan berkembang meskipun menghadapi tantangan besar.