StockReview.id – Laporan yang dirilis oleh NGO Internasional Sinergia Animal menunjukkan tren positif: semakin banyak perusahaan makanan memenuhi komitmen mereka untuk meninggalkan penggunaan telur dari kandang baterai dalam rantai pasok mereka, dan beralih ke sistem produksi dengan kesejahteraan yang lebih tinggi. Hal tersebut memungkinkan ayam untuk bergerak dan menjalankan perilaku alami mereka dengan lebih baik.

“Dalam beberapa tahun terakhir, kami melihat puluhan perusahaan makanan yang beroperasi di Asia berjanji untuk mengurangi penderitaan ayam petelur dengan menghentikan pasokan telur yang diproduksi dari kandang baterai, salah satu bentuk sistem pengurungan hewan yang paling kejam dalam industri makanan” ungkap Among Prakosa, Direktur Pelaksana Act for Farmed Animals, koalisi organisasi perlindungan hewan Animal Friends Jogja dan NGO internasional Sinergia Animal. “Kami bangga dan senang melihat bahwa sebagian besar dari mereka telah menanggapi janji-janjinya secara serius dengan menerapkan kebijakan tersebut serta melaporkan perkembangannya.”

Survei yang dilakukan oleh Sinergia Animal di 5 negara Asia (India, Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Thailand) menunjukkan bahwa 55 perusahaan tidak lagi menggunakan telur yang berasal dari kandang baterai.

Tahun ini, 21 perusahaan melaporkan kemajuan mereka, meningkat dari hanya 8 perusahaan di laporan tahun lalu. Diantara perusahaan tersebut adalah Accor, Four Seasons, ISS World, Marriott, Minor International, RBI, SaladStop!, The Peninsula Hotels, dan Unilever. Hal tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 162,5% dibandingkan dengan survei tahun lalu. “Melihat perusahaan-perusahaan memprioritaskan transparansi, dan mendengarkan konsumen yang menginginkan makanan mereka diproduksi dengan cara yang lebih welas asih tentu sangat menggembirakan,” ungkap Among.

Laporan pelacakan bebas kendang baterai mengelompokkan perusahaan jasa makanan, perhotelan, dan ritel ke dalam 4 tingkatan (A sampai D). Tingkat A mewakili perusahaan yang melaporkan bahwa mereka telah sepenuhnya beralih memakai telur bebas kandang baterai. Tingkat terendah, D, mewakili perusahaan yang telah mempublikasikan komitmen bebas kandang baterai, namun belum membagikan kemajuan dalam hal penerapannya.

Laporan tahun ini juga menunjukkan lebih sedikit perusahaan yang berada di tingkat terendah. Tahun lalu, 30% perusahaan berada di Tingkat D, dan hanya 20% di tahun ini. Di antara perusahaan yang masih berada di Tingkat D adalah perusahaan-perusahaan multinasional seperti Best Western, Focus Brand, dan Subway.

“Meskipun sangat menjanjikan melihat adanya tren pelaporan yang lebih tinggi, namun juga memprihatinkan bahwa beberapa perusahaan belum menunjukkan upaya untuk memenuhi komitmen bebas kandang baterai mereka. Survei menunjukkan bahwa konsumen di seluruh dunia, termasuk di Asia, telah menyatakan kekhawatiran mereka terhadap kesejahteraan ayam. Perusahaan-perusahaan ini sudah seharusnya melakukan yang terbaik untuk konsumen mereka,” ungkap Among.

Menurut FAO, Asia merupakan wilayah penghasil telur terbesar di dunia, menyumbang lebih dari 64% produksi telur global. Kawasan ini merupakan rumah bagi setidaknya 3,1 miliar ayam petelur, yang sebagian besar dikurung dalam sistem produksi kandang baterai. Sistem ini membatasi ayam untuk mengekspresikan perilaku alami mereka (seperti berjalan bebas, mematuk, dan melebarkan sayap sepenuhnya) karena mereka menghabiskan seluruh hidup mereka dalam ruangan yang sangat sempit.

Karena masalah kesejahteraan, kandang baterai konvensional ini telah dilarang di Uni Eropa dan beberapa negara lainnya. Di sektor korporat, lebih dari 2.500 perusahaan makanan besar di seluruh dunia telah membuat komitmen untuk hanya membeli dan menjual telur yang berasal dari sistem non-kandang baterai, termasuk lebih dari 250 komitmen khusus dibuat di Asia.

“Masih ada jalan panjang yang harus dilalui untuk sepenuhnya meninggalkan kandang baterai di Asia. Kami mengundang konsumen dan pelaku bisnis untuk membaca laporan pelacakan bebas kendang baterai ini serta mendukung langkah untuk menuju sistem produksi pangan yang lebih ramah lingkungan,” kata Among.