Foto: Ilustrasi.

StockReview.id – Maja Agung Latexindo (SURI) sepanjang 2024 membidik peningkatan pendapatan 30 persen. Proyeksi kinerja itu, disusul target produksi sarung tangan mencapai 1 miliar buah. ”Kita optimistis pertumbuhan untuk untuk laba bersih tahunan juga demikian,” tutur Henry Patunru, Direktur Maja Agung Latexindo.

Target itu, akan ditopang peningkatan produksi sarung tangan lateks dari 615 juta buat per tahun menjadi 1 miliar per tahun. Maja Agung mengklaim 1 miliar produksi akan terserap pasar.  Perseroan akan fokus pada strategi meningkatkan kapasitas produksi, efisiensi, dan teknologi.

Kapasitas produksi juga akan menekankan penerapan environmental, social, and governance (ESG) secara menyeluruh. Saham Maja Agung baru melantai tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dan, sempat mengalami suspensi menyusul peningkatan harga signifikan.

Akhir pekan lalu, saham Maja Agung berada di level Rp645 per lembar atau naik 0,78 persen.  Sepanjang perdagangan, saham Maja Agung bergerak pada kisaran Rp605-685 per eksemplar. Sebanyak 21,76 juta saham beredar dengan nilai transaksi mencapai Rp13,99 miliar.

Kapitalisasi pasar Maja Agung tercatat Rp4,05 triliun. Sebluan terakhir, saham Maja Agung melonjak 292,64 persen. Saham Maja Agung resmi tercatat di BEI pada 7 Desember 2023 dengan harga pelaksanaan Rp170 per helai. Saham Maja Agung tercatat di papan pengembangan, dan masuk sektor kesehatan.

Pada IPO kali ini, produsen sarung tangan latex berdiri sejak 1988 itu, menawarkan 1,26 miliar saham atau 20 persen dari modal ditempatkan dan disetor penuh. Maja Agung mematok harga atas Rp170 per lembar sehingga meraup dana IPO Rp215,36 miliar.

Dana hasil IPO sekitar 49,45 persen untuk belanja modal atau capex. Rinciannya, sekitar 20,26 persen untuk pengembangan bangunan gudang, pabrik, dan kantor berlokasi di Jalan Utama No. 98 Desa Pujimulyo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Kemudian 24,55 persen untuk penambahan dan remodifikasi mesin produksi. Capex itu, termasuk 3,11 persen untuk pembangunan fasilitas pengelolaan limbah, dan sekitar 1,53 persen untuk pengembangan software penunjang operasional.

Selanjutnya, 50,55 persen untuk opex. Tepatnya, 9,61 persen untuk penambahan daya listrik area pabrik, dan 40,49 persen untuk modal kerja. Namun, tidak terbatas pada biaya pemasaran, pembelian persediaan bahan baku, dan bahan penunjang guna mendukung kegiatan usaha.