StockReview.id – Setelah periode El Nino, industri kelapa sawit di Indonesia kini menghadapi tantangan baru dengan datangnya La Nina yang diprediksi mulai Agustus 2024. Perubahan dalam pola cuaca ini diumumkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang sebelumnya memperkirakan La Nina akan tiba pada Juli. Kini, fenomena ini diperkirakan akan mempengaruhi Indonesia pada bulan Agustus, September, dan Oktober 2024, atau yang dikenal dengan istilah ASO 2024.
La Nina adalah fenomena klimatologis yang ditandai dengan penurunan suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah. Penurunan suhu ini mengurangi potensi pembentukan awan di area tersebut dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia. Fenomena ini tentunya akan membawa dampak signifikan terhadap berbagai sektor, termasuk industri kelapa sawit.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menjelaskan bahwa La Nina dapat mempengaruhi proses evakuasi Tandan Buah Segar (TBS) di perkebunan sawit. “Evakuasi TBS bisa terganggu, terutama jika terjadi banjir. Hal ini akan menghambat transportasi dan berpotensi menyebabkan penurunan produksi. Seberapa besar penurunan tersebut akan sangat bergantung pada kondisi masing-masing daerah,” katanya.
Eddy juga menambahkan bahwa La Nina tidak secara otomatis meningkatkan harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar global. Meskipun fenomena ini dapat menyebabkan penurunan pasokan minyak sawit di pasar ekspor, dampaknya pada harga dan pendapatan perusahaan tidak selalu langsung terlihat. “Harga CPO mungkin naik jika pasokan berkurang, tetapi gangguan produksi juga akan mempengaruhi pendapatan perusahaan. Jadi, tidak bisa dipastikan bahwa harga akan selalu meningkat,” tambah Eddy.
Pendapat senada disampaikan oleh Executive Director Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung. Tungkot mengungkapkan bahwa La Nina dengan intensitas ekstrem bisa menurunkan produksi TBS akibat genangan, banjir, dan gangguan pada proses panen atau pengangkutan TBS. “Untuk mengatasi dampak La Nina maupun El Nino, diperlukan perbaikan dalam manajemen air seperti pembangunan embung untuk menyimpan kelebihan air pada musim La Nina agar dapat digunakan pada musim El Nino,” jelas Tungkot.
Namun, Tungkot juga menekankan bahwa jika La Nina berada pada tingkat moderat, fenomena ini justru dapat berdampak positif pada produktivitas sawit. “Jika La Nina pada tingkat moderat terjadi pada musim pemupukan, seperti Oktober hingga Desember, bisa meningkatkan produktivitas sawit. Meskipun efek positif ini mungkin baru terasa pada semester pertama tahun 2025,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, menyebutkan bahwa La Nina adalah bagian dari dinamika iklim yang harus dihadapi oleh industri sawit. “Fenomena ini biasanya berlangsung 1 hingga 3 bulan dan tidak akan berpengaruh signifikan pada produktivitas produksi TBS. Namun, aktivitas panen bisa terganggu oleh hujan, kerusakan jalan, dan jembatan di kebun,” jelas Gulat.
Dengan adanya La Nina, industri kelapa sawit diharapkan dapat mempersiapkan strategi mitigasi yang efektif untuk menghadapi dampak cuaca ekstrem dan memastikan keberlanjutan produksi serta distribusi.